BERAWAL dari pertanyaan seorang sahabat di grup ketua KPU kabupaten/kota periode 2013-2018, munculah candaan saya soal “darling”.
Kata itu awalnya merupakan plesetan dari nama ketua KPU Kota Bengkulu Darlinsyah. Namun obrolan di grup itu menjadi seru karena ada ide untuk menulis buku yang hingga kini belum terealisasi.
Saya langsung nyeletuk, saya nyumbang tulisan dengan judul KPU, Penyelenggara Pemilu dan Darling.
Terkesan judul itu main-main, tetapi demi Allah saya menulis judul itu bukanlah untuk bahan tertawaan saja.
Pelaksanaan Pemilu serentak 2019 ternyata menyisakan persoalan tentang caci maki sebagian masyarakat terhadap kinerja KPU.
Saya tidak berani mengklaim mereka itu adalah pendukung Paslon yang kalah karena saat tulisan ini dibuat KPU belum menetapkan siapa pemenangnya.
Lebih bijak jika mengkategorikan mereka sebagai bagian dari masyarakat. Toh, pendukung salah satu Paslon pun adalah bagian dari masyarakat.
Tak penting siapa yang menyuarakan kritik dan caci maki yang dialamatkan kepada KPU itu. Yang lebih penting adalah kita memposisikan KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang ternyata hingga detik ini menjadi pihak yang rentan disalahkan.
Salah entry sedikit saja, maka akan berujung makian dan tudingan kecurangan, tidak netral dan memihak petahana. Lalu apa yang harus dilakukan agar KPU tidak lagi menjadi bulan-bulanan caci maki?
Jawabannya sudah teramat sering kita dengar, profesionalitas. Mendengar kata itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Mengapa?
Dalam bekerja menyelenggarakan Pemilu, KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota diamanatkan membentuk penyelenggara adhoc.
Sesuai dengan namanya, adhoc, maka mereka diangkat hanya sementara saja dan dipaksa mengucapkan sumpah janji sebagai penyelenggara adhoc yang mungkin diantara mereka ada yang tidak paham secara tekstual arti dan makna sumpah yang telah mereka ikrarkan.
Penyelenggara adhoc yang awalnya hanya ada di kecamatan dan kelurahan/desa itu jumlahnya akan bertambah besar saat menjelang pelaksanaan hari pemungutan suara.
Jumlahnya secara nasional mencapai jutaan orang kala KPPS diusulkan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota untuk diSK-kan.
Tak sedikit ada orang yang beranggapan besarnya jumlah anggota KPPS yang beranggotakan 7 (tujuh) orang ditambah 2 (dua) petugas Linmas dapat dimanfaatkan sebagai lumbung suara.
Hal itu tidak sepenuhnya salah. Sebagai ilustrasi, untuk satu Daerah Pemilihan di DPRD Kota Bandar Lampung tempat saya bertugas saja, rata-rata jumlah TPS mencapai 400-an.
Jika dikalikan dengan 9 (sembilan) orang KPPS dan Linmas akan ada suara 3.600 orang. Belum lagi jika dikalikan anak dan istrinya, jumlahnya akan lebih dari cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung.
Namun dalam prakteknya tidak pernah terjadi hal yang seperti itu. KPPS dan Linmas bahkan banyak yang tidak kenal dengan nama Ketua KPU kabupaten/kota yang mengSK-kan mereka. Bagaimana mungkin KPU dapat mengorganisir mereka untuk berbuat curang.
Saya teringat obrolan dengan seorang teman dari kepolisian. Dia berkata, “KPPS itu organisasi sipil bentukan, soliditasnya dengan pimpinan sangat lemah. Berbeda dengan kepolisian.
Seorang Kapolsek yang cuma punya anak buah dua puluh orang bisa ngamuk jika anggotanya berbuat salah!”
Nah, berbekal stempel penyelenggara adhoc adalah organisasi sipil bentukan itu saya tertarik menulis tulisan ini. Kesalahan yang paling banyak ditemui adalah kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu ditingkatan paling bawah, TPS.
Bagaimana KPU kabupaten/kota bisa bekerja dengan full profesionalitas, jika dukungan anggaran Bimtek tidak bisa menghadirkan seluruh anggota KPPS untuk mendapatkan pelatihan.
Menghadapi Pemilu serentak tahun 2019, hanya empat anggota saja yang disediakan anggarannya untuk mendapatkan pelatihan dan bimbingan teknis.
Bagaimana mungkin profesional jika anggaran yang disediakan kerap belum bisa digunakan sesuai tahapan karena uang persediaan tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang sudah diploating di DIPA KPU.
Belum lagi jika ada alasan menunggu revisi anggaran, akan semakin sulit lagi melakukan sinkronisasi antara jadwal kegiatan dengan anggaran.
Kembali lagi kepada persoalan profesionalitas. Menurut saya jika masyarakat menginginkan KPU yang mandiri, profesional dan independen, maka proses rekrutmennya harus diubah total.
Jangan lagi ada tangan partai politik dalam menentukan komisioner terpilih. Buatlah mekanisme seleksi juga secara full profesional! Jika dari hulunya sistem rekrutmen masih seperti sekarang ini, maka diksi independensi akan selamanya tersandera oleh kepentingan elite partai politik.
Dalam situasi yang seperti ini, yang dibutuhkan oleh KPU adalah rasa sayang dan cinta masyarakat. Lihatlah beban kerja KPU dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2019, banyak sekali sudah berjatuhan korban jiwa. Apakah dengan keadaan itu masih tidak cukup alasan untuk mencintai KPU?
Indikasi kecurangan yang disebut-sebut adalah buah trauma demokrasi yang masih melekat di benak masyarakat atas hegemoni Orde Baru.
KPU yang sekarang terlepas dari plus minusnya, akan berjuang mengamankan suara rakyat ketimbang melakukan praktek-praktek kecurangan.
Penggelembungan suara dalam Pemilu sebagaimana dulu menjadi biasa dilakukan, sudah tidak memiliki tempat lagi dalam demokrasi kita. Belum lagi sanksi pidana yang mengancam akan membuat bulu kuduk penyelenggara Pemilu berdiri.
Dalam tulisan singkat ini, saya sebagai bagian dari Penyelenggara Pemilu terpanggil untuk mengajak seluruh masyarakat merubah cara pandang terhadap KPU yang hari ini dibenci dan dicaci maki.
Jika membaca Medsos saya hanya bisa menggelengkan kepala tanda tak setuju. Bagaimana mungkin lembaga yang lahir dari buah pemikiran di orde Reformasi yang menjadi tempat tumpuan terpilihnya para pemimpin bangsa, justru tak ubahnya seperti keranjang sampah atau toilet tempat orang membuang hajat saja.
Setelah hajat selesai, dicaci maki, dibenci tetapi akan didatangi lagi lima tahun selanjutnya untuk dipakai membuang hajat serupa.
“Ayolah, jadikan KPU sebagai lembaga negara yang dicintai. Panggilah KPU sebagai “darling” yang siap selama 24 jam melayani pemilih agar terpilih pemimpin bangsa yang sidiq, amanah, tabligh dan fathonah!”
Fauzi Heri
Ketua KPU Kota Bandar Lampung
(Sebentar lagi demisioner)
(IYR-L1)
**Tulisan ini adalah kiriman dari penulis. Isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Buat pembaca yang ingin menuangkan tulisan, bisa dikirim ke redaksi Lampung77.com. Terima Kasih.